Selasa, 10 Oktober 2017

Sejarah Batik Jogja


SEJARAH BATIK YOGYAKARTA


SEJARAH BATIK YOGYAKARTA –  Sejarah batik Yogyakarta tidak terlepas dari eksistensi batik Indonesia karena Yogyakarta merupakan embrio lahirnya seni batik tradisional. Keberadaan batik Yogyakarta erat kaitannya dengan sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam oleh Panembahan Senopati. Setelah memindahkan pusat kerajaan dari
Demak ke Mataram, Panembahan Senopati sering bertapa di sepanjang pesisir Pulau Jawa, antara lain di Parangkusuma menuju Dlepih Parang Gupito, menelusuri tebing pegunungan seribu yang tampak seperti “pereng” atau tebing berbaris. Sebagai Raja Jawa yang tentu saja menguasai seni, maka keadaan tempat tersebut mengilhaminya dalam menciptakan pola batik lereng atau parang, yang merupakan ciri ageman Mataram dan berbeda dengan pola batik sebelumnya. Karena penciptanya adalah Raja pendiri Kerajaan Mataram, maka oleh keturunannya, pola-pola parang tersebut hanya boleh dikenakan Raja dan keturunannya di lingkungan istana.
Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo dimana rakyat hidup dengan aman dan sejahtera. Pada masa itu seni dan budaya
pun mendapatkan perhatian yang tinggi, salah satunya adalah batik, yang telah menjadi bahan baku sandang dan dikenakan dalam pelbagai kesempatan. Berdasarkan beberapa data yang diperoleh, pusat pembatikan pada masa tersebut berada di daerah Pleret.
Setelah Sultan Agung wafat dan berturutturut digantikan oleh pewarisnya, keadaan berubah dan terjadi kekacauan. Banyaknya konflik kemudian berujung pada Perjanjian Giyanti yang diadakan tanggal 13 Mei 1755, dimana Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua, yaitu:
1. Kasunanan Surakarta Hadiningrat di bawah Sri Sunan Pakubuwono III, penerus Sri Sunan Pakubuwono II.
2. Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengkubuwono I (Pangeran Mangkubumi).
Sesuai perjanjian palih nagari, segala macam keprabon mulai tata adibusana termasuk batik diserahkan Sri Susuhunan Pakubuwono II kepada adiknya yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I setelah dinobatkan sebagai  raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I. Sementara Sri Susuhunan Pakubuwono II diminta untuk membuat gagrak (corak khas) baru yang berbeda dengan yang sudah dibawa ke Yogyakarta.
Terbaginya Kerajaan Mataram Islam berdampak pada semua pusaka dan benda-benda keraton kecuali Keprabon (barang-barang milik Raja). Adapun Busana Mataraman termasuk batik-batiknya dibawa oleh Kanjeng Pangeran Mangkubumi ke Yogyakarta karena hendak dilestarikan. Oleh karena itu, Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan Pakubuwono III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat hingga sekarang. Maka tampak jelas dalam perkembangannya Batik Mataram tak lain adalah batik corak Yogyakarta.
Pada abad ke-13, proses pembuatan batik hanya dilakukan oleh para putri dan kerabat Raja. Membatik
telah menjadi keterampilan yang wajib dimiliki oleh para putri dan keluarga Keraton. Bagi keluarga Keraton,
membatik merupakan sarana melatih kesabaran, ketekunan sekaligus olah cipta, rasa, dan karsa. Hasil akhirnya pun dikenakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan sandang upacara adat yang selalu diadakan di Keraton. Karena tingginya tingkat kebutuhan sandang di lingkungan Keraton, pengerjaan kain batik melibatkan masyarakat dan pengusaha di luar benteng Keraton. Para abdi dalem terkadang membawa pulang dan mengerjakan proses pembuatan batik di rumah.
Pada abad-17 hingga awal abad 19 batik bertahan menjadi perantara tukar menukar di Nusantara. Saat itu batik yang merupakan hasil karya seni keraton menjadi komoditi perdagangan yang menarik di sepanjang pesisir utara. Menurut Mari S. Condronegoro dari trah Sri Sultan Hamengkubuwono VII, di lingkungan bangsawan keraton di Jawa, kain batik dikenakan sebagai busana. Kain batik di lingkungan keraton merupakan kelengkapan busana yang dipergunakan untuk segala keperluan, busana harian, busana keprabon, busana untuk menghadiri upacara tradisi,
dan sebagainya. Busana pria Jawa yang terdiri dari tutup kepala, nyamping, kampuh, semuanya berupa kain batik. Begitu juga dengan kelengkapan busana putri Jawa yang juga berupa kain batik.
Batik di Indonesia dikategorikan menjadi 2 (dua), yang pertama yaitu batik Keraton yang juga disebut batik pedalaman (vorstenlanden) yang ada di Kerajaan di Jawa seperti Yogyakarta, Solo, dan Majapahit. Batik ini memiliki corak dan motif khas Keraton dengan komposisi warna motif soga (coklat), wedel (biru), putih, dan hitam. Kedua, batik pesisiran yaitu batik yang berkembang di luar Keraton atau di daerah pesisiran  pantai utara seperti Pekalongan, Cirebon, Kebumen, Lasem, dan Madura. Selain perbedaan motif, batik keraton memiliki makna filosofis pada setiap warna dan motif jika dibandingkan dengan batik pesisiran.
Sejarah batik pesisiran terkait dengan peristiwa pelarian prajurit pada saat perang Diponegoro 1825- 1830 yang juga membawa budaya membatik ke setiap daerah pelarian di pesisir pantai utara. Batik ini kaya akan motif dan warna yang beragam karena terinspirasi oleh kondisi alam yang ada di pesisiran, seperti birunya laut, keindahan bunga, dan pengaruh warna-warna daerah lain yang dibawa oleh saudagar dari luar Nusantara. Berbeda dengan batik Keraton, batik pesisiran lebih menarik secara visual dan tidak memiliki makna filosofi yang mendalam.
Sehubungan dengan filosofi kehidupan maka terciptalah simbol-simbol yang menggambarkan perjalanan hidup manusia. Perkembangan motif atau ragam hias kerap kali dikaitkan dengan upacaraupacara adat sesuai makna filosofi dari motif tersebut. Ada beberapa motif yang khusus digunakan untuk upacara perkawinan, untuk wanita saat mengandung putra pertama, melahirkan, pengobatan/perawatan penyakit, menyambut tamu ataupun untuk upacara kematian. Fenomena tersebut menggambarkan bahwa sehelai batik pada masa itu telah memiliki nilai filosofi
tinggi. Batik cukup lekat dengan kehidupan keseharian masyarakat Yogyakarta mulai dari kelahiran hingga kematian.
Motif-motif batik Yogyakarta dikenal memiliki makna dan filosofi yang kuat. Filosofi batik itulah yang menyebabkan tata cara penggunaan batik Yogyakarta tidak boleh digunakan secara sembarangan. Beberapa motif seperti Parang Rusak, Sawat, Udan Liris, dan motif lainnya tidak boleh digunakan masyarakat umum guna menghormati karena merupakan motif ciptaan para Raja dan hanya boleh digunakan Raja.
Sebagaimana yang ditulis oleh Aryunda Dofa dalam ‘Batik Indonesia’ (1996: 21), pada tahun 1785, Sultan Hamengkubuwono I mengumumkan bahwa corak batik ‘Parang Rusak’ tidak boleh digunakan oleh masyarakat umum. Demikian pula pada tahun 1798 dan 1972, menurut data dari arsip Keraton telah ditemukan larangan-larangan mengenai penggunaan motif batik tertentu bagi kalangan umum.
Sejak awal penggunaan kain batik di Keraton, sudah ada ketentuan mengenai kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru. Terakhir, Sri Paduka Sultan Hamengkubuwono VIII membuat peraturan baru (revisi) berjudul Pranatan dalem bab namanipun pangangge keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam  Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927. Yang dimaksud pangangge keprabon (busana keprabon) adalah: kuluk (wangkidan), dodot/kampuh serta bebet prajuritan, bebet nyamping (kain panjang), celana sarta glisire (celana cindhe, beludru, sutra, katun dan gelisirnya), payung atau songsong. Kain dengan motif batik yang termasuk larangan yaitu Parang rusak (parang rusak barong dan parang rusak gendreh).
Seluruh putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain termasuk kain batik larangan. Busana batik untuk permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan (selir) dalem diizinkan memakai Parang Rusak gendreh ke bawah. Garwa padmi (ratu/permaisuri) KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai Parang Rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu (Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata) bersama dengan suaminya. Garwa ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai Parang Rusak gendreh ke bawah. Wayah dalem (cucu Raja) mengenakan Parang Rusak gendreh ke bawah. Begitu juga dengan buyut dalem (cicit Raja) dan canggah dalem (putranya buyut). Warengipun Panjenengan dalem Nata (putra dan putri) ke bawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang-parangan yang seling, dan tidak diperbolehkan byur atau polos.
Pepatih dalem (Patih Raja) diperkenankan memakai Parang Rusak Barong ke bawah. Abdi dalem: Pengulu Hakim, Wedana Ageng Prajurit, Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan Parang Rusak gendreh ke bawah. Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdi dalem mengenakan Parang Rusak gendreh ke bawah. Penghulu Landrad, Wedana Keparak para Gusti (Nyai Riya), Bupati Anom, Riya Bupati Anom, mengenakan Parang Rusak gendreh ke bawah.
Batik Yogyakarta yang termasuk batik pedalaman atau batik keraton sangat berbeda dengan karakter batik pesisiran. Ciri khas batik gaya Yogyakarta memiliki dua macam latar atau warna dasar kain yakni putih dan hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna kain mori), biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan soga, baik kain berlatar hitam maupun putih.
Ragam hiasnya pertama geometris: garis miring lerek atau lereng, garis silang atau ceplok dan kawung, serta anyaman, dan limaran. Ragam hias yang kedua bersifat non-geometris: semen, lung-lungan dan boketan. Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu – Jawa antara lain : sawat yang melambangkan mahkota atau penguasa tinggi, meru melambangkan gunung atau tanah (bumi), naga melambangkan air, burung melambangkan angin atau dunia atas, lidah api melambangkan nyala atau geni.
Seiring dengan perkembangannya, batik semakin banyak digunakan masyarakat di luar Keraton Yogyakarta dan muncul golongan tertentu seperti batik golongan Pamong, batik Sudagaran, dan batik masyarakat umum. Batik golongan Pamong banyak digunakan oleh para pamong yang berasal dari Keraton. Ada pula diantara mereka yang memperoleh gelar keningratan karena berjasa di bidang kebudayaan dan pemerintahan. Tidak mengherankan jika para pamong tingkatan tertentu, terlihat sering memakai batik gaya Keratonan. Mereka pun sering dilibatkan pada peristiwa dan upacara di lingkungan Keraton.
Batik Sudagaran muncul di lingkungan warga Kauman, yaitu masyarakat di sekitar masjid Agung Kauman yang pada umumnya merupakan kaum saudagar atau usahawan batik yang cukup kaya. Para saudagar ini biasanya memiliki hubungan dengan para ningrat di dalam Keraton yang sering menggunakan jasa pembatikan untuk kebutuhan Keraton ataupun kebutuhan pribadi. Pada masa itu, Kauman merupakan sentra penghasil batik yang bermutu tinggi. Namanama yang terkenal dan tertua di antara mereka ialah Haji Bilal dan Haji Maria Noor. Rumah dengan halaman
luas dipenuhi oleh para pengobeng berasal dari Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunungkidul yang bertugas nulisi (membatik) kain.
Perkembangan industri batik merupakan bagian dari industri kreatif di Yogyakarta. Setiap daerah di Kabupaten dan Kota di DIY telah mengembangkan motif batik sesuai dengan karakter dan filosofi daerahnya masing-masing. Tak sedikit pula yang mengembangkanmotif modern sebagai bentuk inovasi yang ditawarkan pada pasar industri sandang baik di Indonesia maupun Mancanegara.
http://jogjaworldbatikcity.id/sejarah-batik-yogyakarta/



NAMA : SYAHRUL SAPUTRA

NPM    : 117020176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kalevi batik casual culottes panst

Rp 120.000 Spesifikasi Kategori Celana Panjang Berat 300 gram Size (type 1) M Size (type 2) - Deskripsi Warna B...